Archive for April 1st, 2009

Be an Observer (part 2)

Namaku Rakha ….. kata anak kecil yang saat itu duduk di depanku dengan bahasa cedalnya. Dia mengatakan “r” dengan suara dari tengah tenggorokannya. Jadi seperti dia berkata huruf “kha” dalam huruf hijaiyah. Mukanya item manis, ada beberapa bekas luka jahitan di pelipisnya. Kebalikannya, saat menghadapi Alo aku harus bertingkah seheroik mungkin untuk membuatnya

“express herself” tapi dengan Rakha ini aku malah dibuatnya bingung untuk membuatnya diam. Kuperhatikan duduknya selalu bergerak tak bisa diam. Mulutnya juga tak henti-hentinya bertanya banyak hal padaku. Di banding Alo, dia tampak lebih berani untuk bercerita, mengungkapkan hati dan mudah akrab denganku.

Observasipun dimulai. Aku sodorkan beberapa soal lengkap dengan petunjuk-petunjuknya dengan menutup beberapa soal dibawahnya yang belum boleh dikerjakan dan takut mengganggu konsentrasinya. Dengan cepat dia mengerjakan beberapa soal di bagian atas. Eh.. dia protes kenapa bagian bawah soal harus ditutup. Wadughhh… aku bingung jawaban yang tepat untuk dia, karena sebenarnya observasi ini dibuat senyaman mungkin sehingga anak merasa tidak sedang ditest. “Di bawah ada gambar-gambar bagus, jadi miss mau bikin surpraise buat Rakha”, kataku. Mata dan mulutnya membulat, kemudian garis-garis bibirnya ditarik kesamping sehingga membuat seulas senyum di wajahnya. Manis, lucu dan polos, membuatku ikut tersenyum juga. Dia pun kembali menekuri gambar-gambar kotak yang harus di corat-coretnya tanpa memperhatikan aku lagi.

Sesampai di bagian test membaca dan menulis, dia mulai ogah-ogahan. Dia bilang tidak bisa membaca dan menulis yang agak panjang. Mukanya cemberut dan matanya sibuk melihat-lihat display ruangan yang gambarnya lucu-lucu. Saatnya harus beraksi lagi nich. Aku harus memberi motivasi untuknya supaya mau membaca dan menulis dengan cerita-cerita lucu. Berhasil. Dia mau membaca dan menulis. Dan subhanallah …. Bacaannya lancar dan tulisannya benar meski tidak serapi tulisan Alo. Di bagian test daya ingat aku tak mesti memberi pancingan untuk dia lagi karena dia merasa aku kasih tebak-tebakan. Selanjutnya di bagian tes berhitung. Aku ingin mengetahui kemampuan berhitungnya sejauh mana. Tentu saja aku minta dia untuk berhitung dari angka 1 sampai tak terhingga (targetnya sich 1 – 100, tapi tak kan kubatasi jika dia bisa hingga beratus-ratus). Seperti halnya tadi, dia bilang tak bisa berhitung. Kembali lagi aku harus mengeluarkan jurus-jurus motivasi atau lebih tepatnya rayuan gombal untuknya. Tampaknya memang lebih sulit, karena dia malah hampir berlari dari kelas. Akhirnya usahaku tak kunjung berhasil juga. Kuselingi dengan bermain puzzle dan duduk di karpet bawah. Aku ibaratkan juga, dia sebagai orang yang kaya raya yang banyak ternaknya yang akan menghitung ternaknya satu persatu. Kulihat dia sedang berimajinasi, terlihat dari matanya yang beberapa detik melihat ke langit-langit ruangan. Eh ternyata berhasil. Jadilah observasi dengan posisi badan tengkurap dengan kaki selonjor (walah..walah..). Hasilnya ….. LANCAR!!!… Rakha bisa berhitung dari 1 hingga 100. “Wow…You’re excellent boy !” pujiku. Kucoba gali lebih dalam lagi logic intellengence-nya dengan memotivasinya berhitung lagi lebih dari 100. Rayuan-rayuan mautpun kulemparkan. “yachhhh…kok lagi miss..tapi sampai 200 aja yach..” jawabnya dengan masih semangat. Subhanallah… aku merasa berhasil memberi dia motivasi. Bayangkan..betapa bahagianya hatiku. Aku bagai terbang ke angkasa. Kusiapkan pula energi extra untuk memeloti dia yang akan berhitung samapi 200. aku antusias luar biasa menatap mulutnya yang mencong-mencong lucu. Berhitung mulai… diawali dari seratus satu, seratus dua, seratus tiga, …..bla..bla…. hingga selanjutnya seratus delapan, seratus sembilan, DUA RATUS……yeeeeee…….. teriaknya sambil berputar-putar di seluruh penjuru ruangan. Dan aku……. Yang telah mempersiapkan tenaga ekstra, yang telah membubung tinggi karena merasa berhasil memotivasinya….. bengong tak berdaya karena surprise-nya mendengar gaya berhitungnya. Beberapa observer lain yang melihatku tertawa geli melihat seorang guru yang bengong tak berkedip sedangkan anaknya berlari-lari bahagia ke seluruh penjuru ruangan merayakan keberhasilannya. Subhanallah…Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah menciptakan segala keindahan di dunia. Termasuk keindahan Rakha yang membuat aku tak berdaya.

Lanjut dech ke test kepribadian. Rakha aku minta menggambar orang. Orang yang sedang apapun. Kali ini aku tak mau tertipu lagi dengan kepolosannya. Seperti biasa, he said “can’t” again. Huh.. kali ini yang keluar dariku adalah ancaman. “Kalau Rakha ga mau gambar, ntar Miss ga kasih hadiah. Gimana, Rakha suka kalau teman-temannya bawa hadiah sedangkan Rakha tidak. Gimana … mau ga?” ujarku menanamkan konsep sebab akibat. Dia berpikir. Matanya melihat ke atas lagi. Namanya anak-anak tetap aja menjawabnya dengan lugu, polos dan tersenyum. “Ga mau miss, ya udah dech aku gambar dulu..sedikit aja yaaa…”. “he em” jawabku singkat. Setelah menggambar singkat, dia bilang sudah, sudah dan sudah. “Kali ini yang keluar dariku bukan gombalan lagi, tapi sedikit ejekan atau apalah namanya. “Masa Rakha cuma bisa gambar seperti ini, padahal Miss yakin Rakha bisa gambar yang lebih bagus lagi.” Dasar laki-laki, meski masih kecil pun merasa bergengsi tinggi. “Aku tambahi dech”lanjutnya. Jadi dech tuch gambar seorang anak kecil laki-laki di jalan sedang bermain bola, di dekatnya ada rumah besar lengkap dengan halaman yang penuh dengan pepohonan. Di depan rumah itu ada jalan raya yang dihiasi oleh banyak mobil yang sedang lalu lalang. Subhanallah…. It’s so great. Terakhir, kuberikan hadiah yang aku janjikan sambil mengajaknyanya give me five (tossss) sambil mengantarnya ke orang tuanya di ruang komputer. “Subahanallah Rakha…kamu begitu cerdas, tapi memang membutuhkan orang yang super active untuk lebih menggali kecerdasanmu. Semoga next time kita bertemu lagi jagoan kecilku” ujarku dalam hati.

Be an Observer (part 1)

Pagi ini ceritanya aku diberi kepercayaan oleh sekolah untuk masuk jadi salah satu team observer siswa baru yang akan masuk SD tahun ajaran baru nanti. Lumayanlah to make the best experience, meski hanya pura-pura jadi psikolog. Setelah sehari sebelumnya breafing dengan psikolog dari kurikulum, pagi ini pun aku siap dengan perbekalan kertas-kertas dan trik-trik observasi untuk anak-anak.

Singkat kata, anak-anak yang hendak di observasi satu persatu datang ke kelas Ibnu Sina, ruang khusus yang kami persiapkan. Yang menjadi pasien pertamaku adalah anak yang saat ini masih duduk di TK MMA (Mitra Mendidik Anak) Bekasi. Si kecil berkerudung ini kulihat sangat manis. Datang bergandengan tangan dengan her brother yang mau naik ke 4th grade pindah ke sekolahku. Keduanya jadi obyek observasi kami, tapi yang aku pegang si keil berkerudung ini.

Namanya Alodyna. Nick name-nya Alo. Tampaknya masih malu-malu tak seperti heroiknya anak-anak yang dari TK Nurul Ilmi. Apa aja aku buat untuk menarik perhatiannya agar dia bisa berekspresi apa adanya di depanku. Sok akrab khas anak TK pun aku lakoni agar dengan harapan dia menganggapku temannya. Bahasa yang aku gunakanpun bahasa “aku-kamu” meski kadang aku sisipi sebutan “Miss” dan “Alo”. Usahaku sedikit berhasil karena Alo sering tersenyum dengan cerita-cerita lucuku. Cukup tersenyum dengan mata sipitnya, bukan tertawa.

Satu persatu soal psikotes pun dikerjakannya dengan panduanku. Hmmm…coretan-coretan alo masih sangat tipis dan kecil-kecil menunjukkan sifat pemalunya yang masih kental. Tampaknya motorik halusnya lebih menonjol terlihat dari tulisannya yang rapi dan tekstur gambarnya yang masih sederhana. Suaranya pun lirih saat aku minta dia untuk berhitung, meski dia berhasil berhitung dari angka satu hingga seratus tanpa kesalahan. Tingkah bersahabat pun masih aku kerjakan untuk membuat Alo lebih tertarik lagi padaku (bukan tebar pesona ya) dan menggali lagi kecerdasan-kecerdasan dari dalam diri Alo.

Psikotes berakhir. Saatnya interview orang tua. Aku antar Alo ke ruang komputer yang telah disediakan berbagai macam mainan dan games di komputer. Aku senang , aku bahagia dan aku tak menyangka. Saat aku berjalan dengannya menuju ruang komputer, dia menggandeng tanganku erat dan mengajakku berlari. Senyumnya pun menyeringai diantara deru sepoi angin saat kami melintas di halaman sekolah. Aku yakin, jika satu bulan saja Alo bergabung dengan kami, jiwanya akan berkembang bebas dengan sistem active lerning kami. Kecerdasan lingual dan kinesteticnya akan meningkat. Ini bukan promosi, tapi aku pastikan itu.

Kemana “Lintangku”

Sudah pernah ku katakan sebelumnya bahwa aku seperti dalam lingkaran Laskar Pelangi dengan karakter siswa yang berbeda-beda. Ada Farhan yang seperti Mahar, ada Naufal yang luar biasa cerdasnya seperti Lintang dan (maaf) ada pula yang autis (tapi dia tak kalah pinter juga lho dengan teman-temannya yang lain, bahkan jago Math).

Final test 1st semester telah berhasil. Setelah berhari-hari mengerjakan raport yang aduhai banyaknya karena kami harus membuat comment untuk students per subject (ampun dech). Belum lagi raport diknas yang membutuhkan pengolahan data yang tak sederhana. Hari pembagian raport pun tiba. Bebas sepertinya. Tahu ga, untuk merayakan itu aku dan beberapa guru akhwat lainnya sampai merayakannya dengan makan-makan diluar. Meski dengan menu sederhana, tapi cukup membuat kita happy (sekali-kali akhwat bau angin malam di rumah makan ga apalah heee…). Setelah keesokannya ada agenda PTM (Parent Teacher Meeting), tibalah saat yang dinanti. Liburan ching….!!!

Singkat cerita, waktu masuk sekolah pun tiba after we get a holiday for two weeks. Kuhitung anak-anakku layaknya menghitung gembala (ups…tingkah mereka yang super duper pun memang tak kalah gesit seperti zebra hehehe….) ternyata kurang satu. Naufalku belum masuk. Sehari, dua, tiga hari. Aku cemas ingin bertanya apa yang terjadi. Pasalnya Naufal memang memiliki asma yang terkadang butuh waktu berhari-hari untuk istirahat. Hingga sore sangat kusayangkan karena aku lupa menelponnya.

Hari ke empat. Hari ini kuberharap Naufal datang menyambut kedatanganku, mencium tanganku, mengucap salam dan “good morning Miss, how are u today?” seperti yang selalu dia lakukan setiap pagi dengan senyum manis plus tahi lalat di dagu kirinya. Ingin sekali aku kabarkan bahwa dia yang akan mewakili kelas kami untuk Olympiade Math bersama Devi, salah satu putri kebangganku juga. Ingin aku letupkan semangatnya untuk menjadi yang terbaik. Tapi hari ini belum kulihat juga “Lintangku”. Dimana dia? Ada apakah? Dan apa yang terjadi?

Kuraih handphoneku, kuketik sms untuk mamanya menanyakan kabar Naufal.

Asslmkum. Ma, bagaimana kabar Naufal? Kenapa beberapa hari ini tidak masuk sekolah? Sehatkah dia? Syukron

Berapa menit kemudian datanglah balasan dari mama Naufal.

Wassalam. Afwan Miss Etik, kami belum sempat pamitan. Hari ini insya Allah kami akan terbang ke Padang, Naufal akan pindah kesana karena Papa Naufal di pindah tugaskan ke Departemen Keuangan kantor Padang. Mohon doanya untuk Naufal ya Miss Etik…

“Masya Allah, Naufal pindah ke Padang…..” spontan ku bergumam sendiri. Tapi ternyata gumaman lirih itu di dengar oleh enam belas pasang telinga yang sedang bergelimang dengan kesibukan sendiri-sendiri di atas karpet kelas. Kontan mereka semua menyerbuku, berebut duduk dekat denganku dan bertanya tentang Naufal. Kulihat bola mata mereka tak percaya mendengar berita ini. Mulut-mulut mereka tak terkatub, menganga beberapa centimeter. Bahkan kudengar Galih berteriak keras memanggil nama Naufal. Subhanallah… begitu kehilangannya mereka. Karena kebersamaan yang telah terlewatkan ini memang begitu indah.

Kupimpin mereka berdoa untuk Naufal, agar dia bahagia mendapatkan yang terbaik dan semoga masih mempertautkan hati kita meski tak lagi kita bersama. Serempak mereka mengaminkan.

Hari olympiade math pun tiba. Hati kecilku berkata, “andai hari ini ada Naufal” tapi segera kutepis perasaan itu karena aku yakin Allah telah memberikan jalan seperti ini terbaik untuk semuanya. Devi yang telah beberapa hari kuberi tambahan belajar Math tampak antusias menghadapi hari ini. Semoga dia akan memberikan kemampuan terbaiknya, pikirku. Hari itu juga hasil Olympiade di umumkan. Dan seperti harapan kami semua, Devilah yang menjadi 1st winner. Saat pengumuman itu, kulihat Devi tersenyum puas dengan “mata china”nya. Kupeluk dirinya dan tosss…. “You’re the winner girl?” ucapku padanya. Tapi, jujur kurasakan lain dihatiku, berkecamuk entah kenapa. Ku hilangkan diriku dari kegembiraan itu, berlari menuju kelas takut anak-anak menebak perasaanku dari balik kacamataku. Kubuka locker Naufal. Masih tersimpan satu box oil pastel dan beberapa faber castel. Kulirik juga foto yang tertempel di pintu locker itu. Masih seperti Naufal yang dulu, tersenyum manis dengan tahi lalat di dagu kirinya. Kini baru aku sadari bahwa ketika kita mendidik dengan hati, tatkala kita kehilangan dari bagian itu, rasanya seperti kita kehilangan salah satu kepingan dari hati kita. So, cintailah anakmu dengan hati, karena Allah semata.


Salam cinta untuk “Lintang”ku.
Bekasi, 23rd January 2009

Cerita Tentang Sepasang (part 2)

Kali ini tak hendak aku bercerita tentang Handis lagi. Tapi ceritaku kali ini masih seputar sepasang kata sepatu dan hampir sama dengan cerita Handis. Kali ini obyekku adalah Farhan. Lengkapnya Farhan Helmy Setyawan, my student in 3rd Al Khawarizmi putra seorang konglomerat Florist asal Jawa Tengah. Selain sangat penyayang binatang, Farhan di kelas juga tergolong special need. Pasalnya, meski sudah kelas tiga tapi belum bisa belajar ketika pembelajaran klasikal. Harus pendekatan personal layaknya home schooling. Satu yang menarik dari Farhan adalah senyumnya yang aduhai. Manis, khas anak tapi bikin ga nahan. Hehe… Pernah suatu ketika aku ingin marah padanya, meski aku sembunyikan. Tapi aku berusaha untuk tegas padanya terutama pada saat sholat yang tidak serius. Tapi setiap kali kulihat senyumnya, hatiku luruh dan bertekuk lutut. Diam tak bergeming. Itu sebabnya untuk penanganan Farhan aku lebih sering menyerahkannya pada Mr. Syam kecuali saat belajar Math aku yang selalu mendampinginya.
Singkat kata sore itu kembali Nurul Ilmi gempar dengan sirine bel tanda pulang telah tiba. Berduyun-duyun anak-anak kelas atas turun ke bawah sambil menjinjing sepatu mereka masing-masing. Aku sibuk merapikan alat-alat tulisku sebelum aku menyusul mereka ke bawah. Siip. Setelah kurasa semua telah rapi, aku turun ke bawah. Di koridor bawah kulihat sosok lucu yang tengah serius menali sepatunya. Kuamati terus sosok itu. Mulutnya maju mundur karena seriusnya. Dialah Farhan. Dan akupun tersenyum melihatnya. Kudekatinya, kuingatkannya untuk mengerjakan PR Math untuk besok. Dia jawab sekenanya saking seriusnya dengan untaian tali-tali yang dililit-lilitkannya. Satu kutarik kesimpulan lagi, inilah efek samping dari sistem pebelajaran aktif learning. Motorik kasar anak terlalu menonjol, sehingga untuk hal-hal yang bersifat halus mereka agak kerepotan. Itulah hipotesis singkat hasil pengamatanku setelah kemarin aku lihat juga Miftah, sang leader di kelasku juga kesulitan menalikan sepatunya. Itu mungkin sebabnya, hampir 99 % anak-anak Nurul Ilmi bukan bersepatu tali.

Tapi lagi-lagi kulihat aneh sepasang kaki Farhan. Pasangan sepatu di kakinya ternyata tidak match. Terbalik antara kiri dan kanan. Kudiamkan. Kutunggu reaksi Farhan, setelah dia berjalan. Apakah dia merasakan sesuatu yang lain. Dan aku ingin dia merasakan keganjilan pada sepasang sepatunya lalu menyadari kekeliruannya. Ternyata aku salah. Farhan melangkah santai tanpa beban selanjutnya berlari menuju mobil jemputannya. Astagfirullah…. Mungkin benar ini efek samping dari active lerning. Kecerdasan mereka memang tergali dan teroptimalkan, tapi kulihat sedikit sekali dari murid-muridku yang rapi tulisannya. Kupikir inilah efek samping yang telah menjelma menjadi virus yang menjamur di Nurul Ilmi.

Pagi hari selepas Shubuh, pintu rumahku diketuk. Salam kudengar dari suara peremupuan. Penghuni kos tak begitu heboh seperti jika yang kami dengar suara laki-laki. Hehehe… sebenarnya ini rahasia. Seperti pada umumnya base camp akhwat, setiap kali terdengar salam dari suara bass khas laki-laki semua penghuni kos malah berlari. Tak ada satupun yang membukakan pintu. Spontan dan tanpa rakayasa. Biasanya kami baru tersadar setelah beberapa detik berlalu. Satu volunter pun baru akan rela membukakan pintu setelah merasa aman untuk membukanya. Kok jadi ngelantur……lanjut dech. Selanjutnya kuraih gagang pintu untuk membukakan pintu depan. Ups… ternyata ibu warung depan membawa satu buah sendal jepit tanpa pasangan. Ternyata itu sendalku, sang ibupun berkata mau menukar sendalnya. O…o… mulutku membulat seperti mas koki. Ternyata semalam saat aku pergi ke warung, aku memakai pasangan sendal yang berbeda saat pulangnya. Dan yang aku pakai sebelah adalah sendal milik sang ibu. hahaha… tawa seisi kos meledak…. Ku replay kembali kejadian beberapa hari ini dalam ingatku. Handis, farhan dan kini aku. Hehehe… aku jadi teringat pepatah “like father like son.” But it is “like teacher like students.” Hihihi… oh tak kusadari ternyata akupun terkena virus active teaching. Siapa mau menyusul…?

Cerita Tentang Sepasang (part 1)

Allah selalu menciptakan di dunia ini berpasang-pasangan. Salah satu hikmah yang Allah berikan dengan ke-Esaannya itu mungkin adalah hakekat untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Ada siang dan malam, kanan dan kiri, gelap dan terang, baik dan buruk, laki-laki dan perempuan, tua dan muda serta berjuta pasangan-pasangan lainnya. Sudah selazimnya jika pasangan-pasangan itu bersatu, roda kehidupan menjadi lebih mempesona, yang kurang jadi lengkap, yang kurang berguna jadi bermanfaat, yang monoton jadi berwarna.

Pernah ada pengalaman lucu tentang yang terlewatkan dengan kata sepasang. Lebih tepatnya adalah sepasang sepatu yang seyogyanya kita pasang pada pasangan kaki kiri dan kanan kita. Dan seharusnya lah sepatu yang kita pakai adalah berpasangan juga, kanan dan kiri. Tidak hanya itu, cara memakainya pun juga harus tepat. Kaki kanan dengan sepatu kanan, kaki kiri dan sepatu kiri. Itu cara yang tepat dalam memakai sepatu untuk hasil yang nyaman dan melindungi kaki kita dari segala kotoran, debu, kerikil bahkan hal-hal yang membahayakan kaki kita. Jadi kesimpulannya adalah, ada empat pasang pasangan jika kita memakai sepatu, yaitu kaki kanan-kaki kiri, sepatu kanan-sepatu kiri, kaki kanan-sepatu kanan dan kaki kiri-sepatu kiri.

Konon katanya, kebiasaan keserasian memakai sepatu tersebut dikaitkan dengan kondisi motorik halus seseorang. Pernah suatu ketika, Mohandis Daidatan (sering dipanggil Handis) salah satu muridku yang menyimpan berbagai katkjuban diriku untukknya. Bulat, subur, putih , lucu dan ga pernah mau belajar dengan kondisi tenang. Tapi anehnya dia selalu bisa mengerjakan berbagai worksheet dan formative test yang diberikan oleh masing-masing guru subject. Selidik punya selidik, ternyata Handis memiliki cara belajar auditorial. Meskipun dia selalu sibuk dengan aktivitasnya sendiri di kelas, tapi ternyata dia menyimpan memori dengan cara mendengarkan. Subhanallah…Maha Besar Allah dengan segala dan berbagai macam kreasinya dalam menciptakan makhluk-makhlukNya.

Suatu ketika aku turun dari lantai 2 ke lantai dasar hendak mengantar seluruh anak2 di kelasku untuk pulang. Menunggui mereka dan memastikan jemputan telah mengantarkan mereka pulang ke rumah masing-masing. Aku turun sendiri karena seluruh anak-anak kelas 3 telah mendahuluiku turun. Di koridor lantai 1, kulihat Handis sedang sibuk dengan sepatunya. Cuek, aku hanya tersenyum datar untuknya. Sebenarnya banyak yang ingin aku lakukan untuknya. Namun, aku berpikir itu semua pasti akan sia-sia. Karena Handis pasti akan cuek menanggapinya, seperti sikapnya ketika siapapun guru yang menyapanya. Handis hanya diam menatapku dengan mata binarnya yang untukku itu aku pandang sebagai permata yang menyimpan berjuta kecerdasan. Namun tiba-tiba saat aku membalikkan tubuhku, Handis memanggilku..”Ms.Etiiik…” dengan suara kecil nan cemprengnya (aneh!! Padahal tubuhnya gembul bukan main). Aku berbalik kembali menatap sumber suara itu. “What’s up Handis?” tanyaku padanya. Tiba-tiba dengan tingkah khas kekanak-kanakannya setengah berteriak dia berbicara padaku “Miss… besok kalau sudah besar aku akan jadi Insinyur ya… namaku kan Muhandis”. Dengan lucunya dia berkata-kata menggemaskan. Subhanallah….”of course! if you study hard, honey” jawabku. Tapi tiba-tiba kulihat ada yang ganjil kulihat pada diri Handis. Apakah itu? Upss… pasangan mata plus kacamata silindrisku menatap ke bawah. Aku tersenyum simpul, tepatnya menahan gelak yang aku simpan rapat dalam tenggorokanku. Akhirnya kuteruskan kalimatku yang terpotong untuk Handisku. “Handis, ngomong-ngomong biar besok jadi seorang insinyur…sepatunya dibalik dulu ya sayang.” “Hehehe..kebalik ya Miss” jawabnya sambil kembali melepas pasangan sepatunya dan membaliknya dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Tapi… o..o.. mulutku membulat setelah melihat kedua kaki Handis.”Kok masih sama saja, apa aku yang salah?” ujarku dalam hati. Tiba-tiba Mr. Marsell sang security datang dari arah belakangku dengan datar ia berujar. “Ms. Etik, sepatu Handis hari ini memang kiri semua”

Masya Allah!! Berarti dari tadi pagi Handis memang memakai pasangan sepatu kiri semua. Kiri yang satunya adalah milik Handimas, saudara kembarnya. Beruntung hari ini Handimas memakai pasangan jenis sepatu yang lain, jadi tidak memakai pasangan kanan semua. Dan anehnya, Handis tak menyadari semua itu dari tadi pagi hingga ba’da ashar ini. Aku bingung, takjub dan tawaku tak tertahan lagi. Tak kupedulikan kata “jaim” seorang guru dihadapan murid-muridnya.

Kututup catatan harianku dan bergegas pulang ke rumah. Kesimpulanku hari ini adalah selain tipe pembelajar auditorial, menurut hematku, motorik halus Handis memang perlu di asah lagi untuk menyeimbangkan kinestetic intellegent-nya yang luar biasa. Kinestetic intellegent yang membuatnya untuk terus bergerak setiap saat setiap waktu yang menumbuh suburkan motorik kasar dalam dirinya. Hmm…

Kesan Pertama begitu menggoda…

Nurul ilmi Bilingual Integrated Islamic School. Instansi tempat aku bernaung saat ini. Aku memang tertarik pada dunia pendidikan di negeri ini, tapi tak pernah terlintas olehku untuk mengajar. Apalagi sampai terdampar di tempat ini.

Hari-hari demi hari aku lewati dengan berbagai hal yang berbeda tiap-tiap harinya. Di awali dengan training untuk para guru di minggu pertamanya. Active learning, English learning, quantum learning, quantum teaching, multiple intelegince, taxonomy bloom and so on. Itu materi-materi yang aku dapatkan yang dikemas apik dengan berbagai simulasi yang indah. Aneh tepatnya, karena dengan berbagai karakter dari teman-teman guru yang membuat hari-hari itu tak terlupakan olehku. Bahkan masa-masa itu sering menjadi bahan letupan tawa dalam pembicaraan di mess akhwat ketika kita mengingatnya di waktu senggang.

Selanjutnya adalah Masa Orientasi Siswa. Pertama kalinya aku melangkahkan kakiku di 3rd grade kelas Al kahwarizmi. Oya, awalnya aku masuk di 6th grade. Menjadi supporting teacher di kelas Al Batani dan Ibnu Majid. Tapi karena kebutuhan psikologis siswa kelas bawah yang lebih membutuhkan pendampingan, so aku memulai hari-hariku di 3rd Al khawarizmi. Masing-masing grade disini dibagi ke beberapa kelas. Masing-masing kelas maksimal duapuluh anak dengan dua teachers, dan diberikan nama kelas dengan nama ilmuawan-ilmuwan muslim. Seperti contohnya adalah kelasku “Al Khawarizmi” sang matematikawan muslim yang menguraikan tentang persamaan linier dan kuadrat; penghitungan integrasi dan penemu angka nol. Penjelasan sepeti inilah yang pertama kali dijelaskan kepada anak-anak di morning circle MOS yang tujuannya adalah memberikan storming pada otak anak sehingga memacu semangat belajar natinya. I hope soo.

Partnerku dikelas adalah Mr. Achmad, perjaka asli Bandung “Sunda teak”. Inilah yang kadang acapkali menjadi sentilan di antara ikhwan-ikhwan bujang dan akhwat-akhwat yang melajang. Pasalnya diantara semua pasangan guru-guru kelas dari 1st until 6th grade, kamilah satu-satunya pasangan yang masih single dua-duanya. But I believe that there’s no special feeling between us. Trust me.

Hari pertamaku di Al Khawarizmi…upssss… I thought I have a big failed. Ternyata anak-anak yang aku bimbing tak seindah bayanganku. Luar biasa, semuanya memilki kinestetic inteligence yang tinggi. Aku berada dalam lingkaran anak berjumlah 17 anak, tapi rasa-rasanya dari pengalaman mengajarku di jawa serasa aku membutuhkan tenaga ekstra untuk mengajar 50 anak. Tapi di hari pertamaku ini aku telah bisa menghafal nama-nama mereka semua karena aku tertarik pada semua pribadi yang unik dari mereka semua. Ada yang membuat aku geli, bengong, takjub bahkan ada yang bisa membuat aku tersipu malu. Ahhh…aku jadi ingat Laskar Pelangi, novel yang telah aku baca beberapa waktu lalu. Sama dengan bu Mus, aku pun memiliki anak-anak dengan karakter yang berbeda-beda yang membuat hari-hariku menjadi bewarna. Tapi aku merasa Aku dan Mr. Achmad telah gagal menarik perhatian mereka di hari pertama MOS. Aku berharap esok tidak akan terulang lagi. Amien

Bekasi, 17 Juli 2008

Nge-Blog lagi euy…

Lama banget ga ngeblog..sampai lupa kalo masih punya blog. Hehehe..

Semoga ke depannya lebih istiqomah dan dapat bermanfaat dan pastinya…. Inspiratif..Insya Allah…