Yach… rumah cinta kami menyebutnya. Sebuah antero rumah petak yang letaknya di samping Gedung Sekolah SDIT Nurul Ilmi Bilingual Integrated Islamic School. Bagi kami guru2 yang belum menikah sebenernya di sediakan mess baik untuk para ikhwans (plural hee..) maupun para akhwats. Awalnya memang ada satu mess ikhwan dan dua mess akhwat. Secara setelah adanya pembagunan gedung TKIT yang diperluas dan dipertinggi mess akhwat pun kini tinggal satu, tepatnya di Jl Garuda PTI lantai 2. Sebagai lantai satunya adalah mess catering, dimana para koki yang notabenenya para ikhwan (cowok) selalu berada disana. Itu yang menyebabkan kami, dari sebagian besar guru akhwat lebih memilih untuk tinggal di hunian rumah kontrakan bu Linda. Pasalnya monthly fee-nya juga relatif lebih murah jika dibanding dengan kos di Cikarang apalagi Jakarta, lebih luas lagi.
Antero sepanjang besarnya SDIT Nurul Ilmi itu, ada 30 pintu rumah petak. Kami tinggal di rumah No. 11. Di tengah2 tepatnya, dengan 3 penghuni. Ms. Iin asli dari Boyolali, Ms. Khusnul from Cirebon dan aku sendiri yang asli wong Solo alias Karanganyar yang mepet dengan Bengawan Solo. Sementara di No 24 ada Ms. Devi yang berdarah Padang dan Ms. Neneng dari Cianjur. Tepat di depannya tinggal Mrs. Ayatun Nufus beserta suami tercinta (pengantin baru euy). Itulah gambaran kontrakan sederhana kami, meski para guru lain suka mlesetin namanya dengan “’apartemen sebelah.” Yo ben lah, doain aja besok benar-benar jadi apartemen. Amien.
Ada berbagai warna kehidupan di rumah kontrakan yang kami sebut dengan rumah cinta. Di samping kiri kami, ada keluarga Bapak plus anak laki-lakinya yang seumuran dengan aku kayaknya (ibunya di kampung mungkin), di samping kanan ada … tau dech mereka keluarga atau bukan tapi penghuninya adalah para bapak-bapak setengah baya. Ada juga yang lebih muda yang hobinya kalau kedengaran dari dapurku selalu menyanyikan lagu sang biduanita Evi Tamala. Di sebelahnya lagi, seorang keluarga kecil dengan dua anaknya yang semuanya adalah laki-laki masih seumuran SD dan TK. konon awalnya keluarga ini terbilang kaya, tapi entah kenapa kemudian jatuh dan tinggal bersama kami disini. Di depan, hmmmm kurang banyak tahu juga karena pintu rumahnya selalu tertutup, tampaknya penghuninya juga jarang di rumah. Tapi pernah aku lihat yang tinggal disitu adalah pasangan pengatin baru juga, masih muda dan hamil muda. Depan sebelah kiri, tinggal bapak-bapak Batak tulen yang suaranya ketika marah mampu membuat bulu kudu kita semua berdiri. Hiiiy….
Berbagai alasan yang membuat kami masih nyaman tinggal disini adalah rasa kekeluargaan kami yang telah mendarah daging. Kekompakan seperti telah menjadi keluarga sendiri. Pernah suatu ketika ketika aku hendak pergi memberi les private di kawasan elite Puri Hutama. Tiba-tiba dari arah belakang, sebuah motor berhenti dan menyapaku,
“Mari mba, aku boncengin mau ke arah tol timur kan?.”
Waduw, dalam hati aku bingung mau menjawab bagaimana pasalnya sejak aku berhijrah tahun 2000 lalu, aku tak pernah lagi diboncengin laki-laki keculai kakak, ayah dan adik-adikku.
“Duh, maaf mas Andi, saya mau ke Alfa dulu takut ngerepotin mas Andi, kataku. “
“O..gitu, ya sudah dech saya duluan ya” jawabnya sambil menancap gas dan memeasukkan perselling motornya kembali.
“Alhamdulillah” ucapku dalam hati. Tapi aku bingung sendiri, mau ngapain aku ke Alfa. Ya udah dech mau ga mau aku memang harus masuk alfamart agar aku tak berbohong pada orang baik yang hendak “menolong”ku tadi. Akhirnya sebuah air mineral dan se-pak tisu jadi sasaran “pembebasan” diriku dari kata bohong.
Kejujurannya juga tak diragukan lagi di “apartemen”ku ini. Pernah suatu ketika dompet Ms iin tertinggal di pagar depan selepas mengajar TPA. Dia sadar saat hendak memasukan motor menjelang kami melepas lelah di peraduan, baru saat itulah dia sadar kalau dompetnya ketinggaln karena melihat wujudnya masih tergeletak di bibir pagar. Isinya masih utuh meski posisi dompet telah berbeda dari posisi awal.
Alasan lain adalah disini banyak anak2 kecil yang lucu. Yang selalu tersenyum saat kuusap rambutnya saat aku mau berangkat maupun pulang sekolah.
Malam jumat kemarin, tepatnya pukul 10.30 malam. Aku yang masih sulit memejamkan mata terusik dengan suara gaduh dari luar jendelaku. Suara ribut untuk pergi keluar bersama-sama. Aku yang saat itu masih memakai mukena dan memegang mushaf mencoba mencari informasi dengan membuka pintu rumahku. Oh..ternyata Mama Cacha, tetangga sebelah kanan yang agak jauhan dari pintu No. 11 ku hendak melahirkan. Berduyun-duyun para ibu-ibu memapahnya yang meringis menahan kesakitan. Singkat kata para ibu-ibu yang selalu heboh di setiap suasana itu membawa mama Cacha ke bidan terdekat. Dengan dibonceng motor seorang laki-laki. Entahlah itu suaminya atau bukan. Secara memang aku tidak hafal muka kaum adam disini baik tua maupun muda. “Hati-hati ya mba .. moga persalinannya lancar,” kataku. Ibu muda yang ayu parasnya itu pun mengucapkan terima kasihnya padaku. Keesokan harinya, ketika sore aku pulang dari sekolah ibu dua anak itupun telah berjalan santai dengan perut mengempis. Oh, sudah lahir dengan sehat rupanya seorang anak perempuan dengan berat 3.6 kg. Alhamdulillah….
Sore pun berlalu dengan pelan namun pasti berganti malam. Hujan rintik-rintik juga mewarnai di rumah kami yang meninggalkan bintik-bintik bening di kaca depan. Subhanallah .. syahdunya di tengah gerimis sore ini dengan alunan tembangnya Mas A’a Airel “Tak ada yang abadi”. Lagu ini memang aku suka banget. Lagu yang baru aku dowlnoad dari blog seorang sahabat baruku … (ehmm …..). Selepas rutinitas sholat, tilawah and dinner, kami bertiga pun bergegas ke peraduan melepas lelah seharian penuh di sekolah. Setelah membaca beberapa lembar halaman buku pun aku juga tak sadarkan diri di telan gulitanya malam. Entah tidur jam berapa tapi yang pasti tidak jauh selepas jam 21.00 WIB. Suasana hening….. zzz..zzz..zzz
Adalah jam 01.10 WIB kami dikejutkan dengan suara aneh. Gedebuk-gedebuk. Aku berlari ke depan dan hanya membuka sedikit kain penutup kaca jendela. Astagfirullah … kepalaku pening, perutku mual. Secara aku yang belum pernah sama sekali melihat kekerasan, kini dihadapanku ada seorang laki-laki yang terbaring di tanah dipukul habis oleh beberapa orang laki-laki disekililingnya. Aku berlari lagi kedalam karena aku benar-benar tak kuasa melihat pemandangan itu. Hatiku tak tega, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berdoa semoga ada orang lain yang terbangun dan melerai pengeroyokan itu. Benar, Bu Linda yang kemudian ikut terbangun berteriak sekuat tenaga dan membangunkan tetangga-tetangga yang lain. Alhamdulillah, pengeroyokan pun berakhir. Dalam pikirku yang tak bisa kembali tertidur malam itu bertebangan berjuta-juta kata. Animal insting, premanisme, brutal ….. and so on…
Pagi harinya aku dapat info. Bahwa yang dikeroyok adalah seorang bapak muda yang berumah di nomor 2. Kabarnya bapak muda yang umurnya masih tergolong muda itu suka mabuk-mabukkan. Sudah diperingatkan oleh kaum adam penghuni apartemenku berkali-kali masih nekat saja minum-minuman di counter HP depan, penghuni baru apartemen kami. Hmmm …. no comment dech atas peristiwa ini. Aku ga berani bilang mana yang benar dan mana yang salah, yang pasti aku takyuuuut dengan kejadian malam itu.
Ahad pagi selepas sembahyang dhuha, iseng aku mainkan keybord di depan layar komputerku, nulis apa saja sambil ditemani instrumentalia “Loving You” dan “This moment”-ny Kenny G. Subhanallah …. Benar-benar membuat jiwaku damai dan tenang (pasalnya aku habis menumpahkan segala isi hatiku kali ini pada Rabb pemilik segala kehidupan dalam doa dhuhaku). Tapi tiba-tiba di tengah kesyahduan dhuha ini, kembali lagi aku dikejutkan dengan suara heboh. Jujur sich, aku takut ada kelanjutan peristiwa semalam. Apalagi sekarang aku lagi sendiri. Dua orang temanku pergi semua, yang satu mengurus KTP dan yang satunya pergi kuliah non reguler di kampus As-Safi’iyah Jakarta. Iseng aku melongkok keluar dari jendela ribben-ku. Masih belum kelihatan juga, tapi suara hebohnya masih. Kali ini malah lengkap dengan suara gemerincing, persis seperti pecahan kaca berjatuhan. Kuberanikan diri menengok keluar setelah kupastikan semua hijabku aman. Kulihat tetangga laki-laki sebelah kiriku yang seumuran denganku. Kutanya “ada apa mas” eh malah dianya cuma senyum cengar-cengir. Lalu aku coba bertanya lagi pada Bu Linda tetangga depan yang agak jauhan dariku. Darinya aku dapat informasi. Oalah… ternyata mas tetanggaku tadi punya “jupiter MX” baru dan dia ngadain tasyakuran seperti layaknya orang Jawa di kampungku. Lengkap dengan saweran beberapa uang recehan. Itulah bunyi gemerincing yang aku sangka pecahan kaca tadi.
“Hmmm…. “Selamat ya mas, moga motornya berkah. “ ucapku pada mas tetanggaku yang namanya aku tak tahu. Kembali lagi dia masih dengan senyum cengirnya dan bilang maturnuwun. Subhanallah… berbagai warna kehidupan yang terjadi di rumah cinta ini. Berbagai kenangan datang dan pergi. Kenangan itulah yang akan kurindukan nanti tatkala aku sudah mengukir mozaik kehidupan di tempat lain.
Ahad, 5th April 2009